Minggu, 14 September 2014

Euforia untuk Merah Putih

           Langit masih hitam ketika aku mendengar rintik hujan membasahi tanah dan suasana dingin menyelimuti tubuhku. Sejenak aku duduk setelah terbangun dari tempat tidur yang beralaskan kain batik. Ayah dan Ibu sudah sibuk bekerja di dapur sementara adikku masih terlelap. Aku melihat Ibu sedang menyalakan api di kayu bakar dan kemudian aku bertanya kepadanya jam berapa sekarang. Dengan nada rendah Ibu menjawab bahwa sekarang sudah jam 3 pagi. Aku bergegas pergi ke sumur untuk mandi dan bersiap untuk pergi sekolah. Dalam sekejap aku sudah rapih berpakaian seragam sekolah dan menggunakan sandal jepit karena aku akan menempuh perjalanan yang jauh. Aku tidak ingin sepatu kebanggaanku kotor terkena tanah dan lumpur. Iqbal, Tono, Rara dan Sekar sudah menungguku diluar rumah untuk berangkat bersama.
            Aku dan teman-temanku akan menempuh perjalanan 20 KM untuk bersekolah. Kami tidak melewati jalanan mulus yang beraspal, kami melewati jalan setapak yang sangat licin yang baru saja dibasahi air hujan dan mendaki gunung serta bukit-bukit. Ini sudah menjadi keseharian untukku dan itu biasa.
            Sesampainya di sekolah, aku mengganti sandal jepit dengan sepatu kebanggaanku. Pak Karno membunyikan lonceng dan kelas pun dimulai. Pelajaran pertama hari itu adalah Bahasa Indonesia. Pak Supri dengan senyumnya yang ramah masuk ke dalam kelas dan menyapa semua murid. Ketika nama Muhammad Ibrahim disebut untuk absen, aku mengacungkan jari. Hari itu Pak Supri membawa koran untuk dijadikan bahan pelajaran. Dia membacakan judul headline koran dengan penuh bangga. Pak Supri adalah seorang penggila bola terutama timnas Indonesia. Pak Supri terlihat amat senang karena kemarin malam Indonesia berhasil melibas Filipina 2-1. Aku sendiri adalah seseorang yang menyukai sepakbola tapi tidak maniak hingga akhirnya aku bertanya kepada Pak Supri hal apakah yang membuatnya jatuh cinta terlalu dalam terhadap sepakbola terutama timnas Indonesia. Dia menjawab, baginya para pemain timnas adalah pahlawan yang sangat besar jasanya untuk masa kini karena mereka mencoba mengharumkan nama bangsa. Timnas adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya. Dia menambahkan, mungkin jersey para pemain sering terbalur darah ataupun keringat, tapi menurutnya jersey tersebut tidak pernah terbalur atas rasa malu. Lambang garuda yang terdapat di jersey para pemain seakan-akan menambahkan sebuah kekuatan. Ini adalah kali pertama aku mendengar seseorang berbicara dengan semangat yang berbeda. Aku benar-benar merasakan suatu rasa nasionalisme untuk menjadi fanatik terhadap timnas Indonesia.
            Disaat perjalanan pulang, aku selalu berfikiran mengenai kata-kata yang diucapkan Pak Supri. Sebelum tertidur pun aku membayangkan suatu keramaian stadion, penonton bersorak dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama dan semuanya membawaku terlarut dalam tidur.
Ketika terbangun, pada hari itu juga aku memutuskan untuk menabung. Aku akan meyisihkan uangku setiap harinya untuk membeli jersey timnas Indonesia. Uang jajanku memang tak seberapa, namun jika setiap hari aku mengumpulkan uang pasti aku bisa membelinya. Sejak aku mulai tergila-gila terhadap timnas, aku selalu bermain bola ketika istirahat dan pulang sekolah, aku bertanya banyak hal kepada Pak Supri dan membaca koran-koran berbau sepakbola yang dibawanya ke sekolah.
Hari demi hari berlalu. Ketika uang yang aku kumpulkan sudah cukup, aku berangkat ke kota pada hari Minggu dinihari untuk membeli jersey. Ketika sampai, susasana hari itu sangatlah ramai dan aku sempat kebingungan mencari toko yang menjual jersey timnas. Malioboro memang selalu ramai, tapi aku tidak pernah melihat sampai seperti ini. Terakhir kali aku ke Malioboro adalah 1 tahun yang lalu. Aku bertanya kepada tukang parkir dimana toko yang menjual perlengkapan bola. Akhirnya aku menemukan sebuah toko di depan Mal Malioboro. Ada banyak sekali baju timnas yang terpampang dan aku bingung memilih yang mana. Akhirnya aku menjatuhkan pilihan kepada jersey timnas berwarna merah yang polos. Walaupun tanpa berlogo Nike, aku tetap bangga terhadap jersey tersebut dan segera memakainya. Harganya yaitu Rp35.000 dan butuh waktu berhari-hari untuk membelinya. Ketika matahari mulai semakin terik, aku pun memutuskan untuk makan di sebuah warung.
Ketika sedang makan tahu goreng, aku tercengang melihat televisi di pojok atas yang sedang menayangkan berita mengenai timnas. Wajah-wajah mereka aku kenal mulai dari Tibo, Okto, Patrick, Ahmad Bustomi, Firman Utina, dan yang paling aku idolai, Bambang Pamungkas. Mereka sedang diwawancarai mengenai kesiapan timnas yang akan kembali berlaga sore nanti. Cukup lama aku berada di warung tersebut untuk melihat persiapan mereka. Ketika keluar dari warung tersebut, aku semakin larut dalam keramaian pusat kota Jogja menjelang sore hari. Euforia masyarakat semakin menggila dan aku bingung. Aku tidak pernah menonton pertandingan sepakbola di televisi sebelumnya, jadinya aku ingin menontonnya. Rumahku terletak di pedalaman Gunung Kidul dan aku tidak mempunyai televisi. Jangankan televisi, listrik saja tidak ada.
Ketika aku berjalan ditengah-tengah kesibukan orang-orang, tiba-tiba aku menabrak seorang bapak-bapak yang cukup tua dan aku mengenalnya. Beliau adalah Pak Supri, guru Bahasa Indonesia ku. Dia terkejut melihatku berada di Malioboro pada pukul setengah 4 sore sendirian. Aku merasa senang bertemu dengannya, setidaknya aku tidak merasa sendirian. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku ingin sekali menonton pertandingan timnas Indonesia sore ini, tapi aku bingung nanti pulangnya bagaimana. Dengan senyum penuh kehangatan seorang ayah, dia pun mengajakku ke Alun-Alun Kidul. Disana terdapat layar besar dimana orang-orang akan menggelar nobar atau nonton bareng. Sebenarnya aku cukup panik memikirkan Ibu dan Ayah yang pastinya sedang khawatir di rumah tapi tadi Pak Supri sudah bilang nanti beliau akan berbicara dengan kedua orangtuaku.
Matahari mulai bersembunyi dan lampu-lampu yang bagaikan bintang di perkotaan mulai menerangi tempat tersebut. Banyak orang-orang yang datang mengunjungi Alun-Alun Kidul. Selain untuk menonton bola, ada banyak juga hiburan disana. Pak Supri menawarkanku sate ayam ketika pertandingan akan dimulai. Aku hanya mengucapkan terima kasih, menolak dengan bahasa halus. Alangkah udik nya diriku ketika pertama kali melihat para pemain beraksi di laga yang cukup panas tersebut. Jujur saja, aku sendiri tidak mengerti kenapa sangat bersemangat. Aku mendengar lagu-lagu pembangkit semangat para pemain menggema di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Aku mencoba memejamkan mata sejenak untuk merasakan suasana mereka. Tepuk tangan, terompet, dan teriakan-teriakan membuat bulu kuduk ku merinding. Aku pun membuka mata lebar-lebar dan mengucapkan niat dalam hati bahwa aku akan pergi ke Jakarta untuk datang ke Gelora Bung Karno dan menonton pertandingan timnas Indonesia.
Ketika aku dan Pak Supri akan pulang, Pak Supri mengajakku untuk ke warung kopi sebentar. Aku melihat ada beberapa orang yang saling berselisih pendapat mengenai pertandingan tadi. Aku bukanlah komentator yang baik, namun dengan rasa hormat dan mencoba untuk sopan, aku pun memberikan pendapat dan melerai mereka. Bagiku sendiri, komentarku hanyalah komentar biasa dan basic saja untuk remaja kelas 2 SMP, tapi menurut mereka tanggapanku adalah tanggapan yang sangat bagus. Aku pun hanya tertunduk tersenyum malu. Kemudian mereka menanyakan namaku. Hari itu sungguh luar biasa dan aku akhirnya menginap di rumah Pak Supri.
Keesokan harinya aku kembali bersekolah seperti biasa, meminjam buku dan seragam dari Pak Supri. Ketika pulang, orangtuaku sangat khawatir dan terharu melihatku balik ke rumah. Seperti yang sudah aku niatkan sebelumnya, aku pun bekerja keras demi menonton timnas Indonesia di Jakarta. Setiap pulang sekolah, aku akan datang ke peternakan milik orangtua temanku untuk membantu-bantu memerah sapi, memberi makan dan menjual susu. Aku juga membantu-bantu anaknya Pak Karno dalam menjalankan usaha tekstil nya. Anak Pak Karno berusia 25 tahun namun sudah membuka usaha tekstil kecil-kecilan. Namanya adalah Adin dan aku memanggilnya Mas Adin. Dia bertanya kepadaku mengapa aku mau kerja membawa barang-barang keperluan tekstil, aku pun menjawab dengan singkat, demi timnas Indonesia. Dia pun mengerti maksudnya. Mas Adin adalah seorang pribadi yang sangat baik dan dermawan, dia pun memberikan aku uang tambahan dan sambil tersenyum ketika memberikan uang tersebut ia mengatakan demi timnas Indonesia. Aku tersenyum dengan bahagia dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Selama di perjalanan pulang, aku rasa uang yang aku tabung sudah cukup ditambah dengan uang selama aku membantu-bantu dan yang dari Mas Adin tadi. Sesampainya di rumah, akhirnya aku mengatakan niat tersebut kepada kedua orangtuaku. Orangtuaku awalnya ragu namun akhirnya mereka mengizinkanku. Aku akan membeli tiket lusa, ditemani Pak Supri. Agar lebih mudah, aku berfikir jika besok uangnya aku titipkan ke Pak Supri pasti akan lebih baik. Ternyata salah.
Pukul 3 pagi aku bangun dan berangkat ke sekolah bersama teman-teman dengan semangat. Aku sangat antusias dan berhati-hati juga dalam membawa uang yang jumlahnya cukup banyak tersebut. Tibalah aku di jembatan tua untuk menyebrangi aliran sungai yang deras. Jembatan tersebut terbuat dari bambu dan sudah mulai goyah. Aku melewatinya perlahan-lahan hingga akhirnya ketika mau sampai di seberang, aku berjalan lebih tenang. Namun sayang, tiba tiba terdengar suara bambu yang patah dan aku hampir terperosok ke dalam sungai. Tas ku sudah diujung tangan dan resleting nya perlahan terbuka. Dalam hati aku berteriak demi timnas Indonesia. Semuanya seolah-olah sirna ketika uang yang ku kumpulkan mulai keluar dari tas dan jatuh ke dalam sungai. Tenggelam sudah semuanya. Padahal tadi Tono dan Iqbal sudah berusaha membantu. Aku menangis dalam kesunyian pagi itu.
Ketika sampai di sekolah, aku menceritakan semuanya kepada Pak Supri. Pak Supri mencoba menghiburku dan membantuku menghadapi situasi ini. Pak Supri hari ini akan pergi ke kota lagi untuk menonton bola dan dia mengajakku. Awalnya aku menolak. Rasanya sudah malas dan benci, tapi beliau kembali membujukku hingga akhirnya aku mau.
Kali ini Pak Supri membawaku ke sebuah kafe yang cukup mewah untuk nonton bareng. Aku sangat terkejut karena sepertinya tidak pantas masuk ke tempat glamor seperti itu. Ketika ada waktu jeda, sang pembawa acara mengadakan kuis yang berhadiah 2 tiket menonton pertandingan timnas Indonesia di Jakarta. Saat itu aku mengerti mengapa Pak Supri mengajakku kesana. Ketika pertanyaan dilontarkan, dengan sigap aku menjawab. Seisi kafe tercengang ketika anak seumuranku menjawab pertanyaan mengenai sejarah sepakbola timnas. Mereka pun akhirnya memberikan tepuk tangan yang meriah dan salut kepadaku. Aku hampir saja menangis haru. Tidak disangka, dari mulut ke mulut orang-orang membicarakanku.
Hingga akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku dan Pak Supri berangkat ke Jakarta naik kereta di malam hari dan sampai di Jakarta subuh. Kami menginap di hotel yang sudah diakomodasikan oleh pihak penyelenggara. Aku senang sekali melihat Monas dan Patung Selamat Datang di Bundaran HI. Seharian kami hanya menghabiskan waktu berjalan-jalan saja.
Langit pun mulai berubah warna menjadi orange. Saya dan Pak Supri bersiap-siap ke GBK. Selangkah lagi kami akan menonton pertandingan timnas bersama, namun tiba-tiba tiket milik Pak Supri jatuh ke kubangan air dan terinjak-injak. Kami pun sangat kaget dan pasrah hingga akhirnya seseorang berteriak menyebutkan namaku dan orang-orang berkerumun di seklilingku. Mereka ternyata terkagum dengan apa yang dibicarakan banyak orang selama ini. Lagi-lagi aku hanya tertunduk tersenyum malu. Mereka bertanya mengapa aku tidak masuk ke dalam GBK, aku pun menjawab dan mereka memberikanku bantuan. Mereka masih punya 1 tiket dan diberikan untuk Pak Supri. Kami pun akhirnya masuk ke dalam GBK dan duduk di kursi kategori 1. Aku kembali memejamkan mata dan mencoba merasakan atmosfer yang pernah kubayangkan saat duduk di Alun-Alun Kidul. Para punggawa timnas pun masuk dan kami menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama. Aku tidak peduli jika suaraku habis, yang penting aku mendukung timnas. Sungguh luar biasa! Malam itu pemain idolaku, Bambang Pamungkas berhasil menjebol gawang Malaysia dan mengunci kemenangan mutlak dengan skor 3-1 di menit 66.

Aku pun membentangkan bendera Indonesia sambil meneriakkan Garuda di Dadaku. Malam itu adalah malam yang sangat berharga. Malam itu adalah malam yang memberikan pelajaran terbesar sepanjang hidupku. Aku belajar mengenai arti sebuah pengorbanan. Aku memang bukanlah anak yang cerdas, bukan anak pandai yang tau bagaimana cara melestarikan seni dari sebuah bangsa, bukan anak dari seorang pejabat yang memegang gadget setiap harinya, tapi aku adalah seorang penggila, maniak dan fanatik bola, aku tau para penonton yang rela berkorban demi keharuman nama bangsa, aku paham sebuah budaya dalam sepakbola yang unik akan banyak hal dan itu adalah caraku, cara bagaimana diriku menunjukkan bahwa aku cinta tanah air ini, Indonesia.


Jakarta, 27 Mei 2012
Untuk para nasionalis dan pecinta sepakbola Tanah Air
Amanda Pragita

Jumat, 25 April 2014

Panorama Film Eropa

                Indonesia sering sekali diberi suguhan film-film dari berbagai genre yang pada umumnya berasal dari negara Amerika atau Inggris. Kali ini, bukan hanya Inggris, salah satu negara di Eropa, yang berhasil memukau saya dengan film-filmnya. Beberapa orang mungkin sudah tidak asing dengan annual event Europe On Screen atau Festival Film Eropa yang digelar di berbagai kota di Indonesia. Berikut akan saya share pengalaman saya mengenai festival ini.

                Matahari mulai hanyut ditelan cakrawala pada hari itu. Saya sudah bersiap-siap untuk pergi ke Goethe Haus bersama kakak saya, temannya, dan teman-teman saya juga. Malam itu, saya berencana untuk menonton film berjudul Kosmonauta yang berasal dari Italia.

                Jarak antara Goethe dengan rumah saya memang tidak sampai 5 kilometer namun saya pergi menggunakan taxi kesana. Sesampainya di Goethe, saya sangat antusias melihat orang-orang di sekeliling saya yang hendak menonton film Kosmonauta. Bukan hanya warga negara asing yang hadir ternyata, namun para penikmat film dari Indonesia juga banyak yang berdatangan.

                Sejak film dimulai hingga berakhir, saya jadi mulai tertarik dengan film-film Eropa lainnya. Dari kualitas plot atau alur ceritanya saja bagi saya memiliki makna yang sangat bagus. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk rajin berpartisipasi menghadiri acara ini di tahun-tahun selanjutnya.

                Salah satu personil The Beatles yang sangat saya kagumi adalah John Lennon. Ketika mendengar tentang sebuah film yang menceritakannya akan diputar di opening Europe On Screen di Epicentrum, saya segera mencari berbagai info dan ternyata teman kakak saya memberikan tiketnya.

                Bukan kali terakhir saya mengagumi atmosfir di Europe On Screen. Orang-orang disana ramah dan saya senang dengan sambutan yang disampaikan karena tidak terlalu panjang tapi padat dan jelas. Nowhere Boy, film yang berkisah tentang perjalanan karier John Lennon muda ini mulai menaungi pikiran-pikiran saya untuk memiliki sifat tidak mudah putus asa dan bekerja keras. Dengan soundtracks yang 50's, film ini membawa saya ke dimensi lain pada saat itu.

                Lagi-lagi dan lagi-lagi, saya menanti dengan sabar tahun berikutnya untuk menyaksikan film-film lain. Pada kesempatan waktu itu, saya menonton film Rust and Bone yang menjadi opening di Blitzmegaplex Grand Indonesia.

Film yang berkisah tentang perempuan yang kakinya harus diamputasi karena kecelakaan di sebuah seaworld ini begitu menyentuh pada scene-scene terakhirnya ketika teman pria nya mencoba menyelamatkan anaknya yang tenggelam di dalam kolam es bahkan hingga tangannya berdarah-darah. Film ini memberikan moral value untuk saya agar jangan pernah menyerah terhadap hal-hal yang berharga bagi kita. Film yang dibintangi Marion Cotillard ini sukses membuat saya menangis karena aktingnya.

Di Erasmus Huis, saya menghadiri closing EOS kali itu dan disajikan beberapa film pendek dari pemenang kompetisi short movie. Ada yang tentang dua orang berketerbatasan dan tentang maksud sticker yang ditempel di kaca mikrolet. Sementara itu, sebuah film yang diputarkan pada closing Europe On Screen pada kali itu mengangkat cerita mengenai sebuah lukisan legendaries yang direplika. Saya lupa judulnya apa, namun yang jelas, pemutaran film ini beberapa kali mengundang gelak tawa para penontonnya.

Bagaimana? Sangat tidak sabar untuk menanti Europe On Screen pada tahun ini, bukan? Begitulah pengalaman saya selama menyaksikan film-film di festival tersebut. Satu hal yang sangat saya sukai dari festival ini adalah bagaimana cara EU mengangkat film-film dari negara mereka dengan mengutamakan kualitas dari alur cerita yang sederhana, terlihat simple, namun memiliki arti tersendiri yang mendalam bagi para penontonnya.

Bagi para pecinta film, festival ini patut dihadiri dan anda pasti akan mengapresiasinya. Jadi, jangan lewatkan perhelatan akbar ini tanggal 2-11 Mei 2014 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya!

For more information, visit: http://www.europeonscreen.org