Indonesia
sering sekali diberi suguhan film-film dari berbagai genre yang pada umumnya
berasal dari negara Amerika atau Inggris. Kali ini, bukan hanya Inggris, salah satu negara di Eropa, yang berhasil memukau saya dengan film-filmnya. Beberapa orang mungkin
sudah tidak asing dengan annual event Europe On Screen atau Festival Film Eropa
yang digelar di berbagai kota di Indonesia. Berikut akan saya share pengalaman
saya mengenai festival ini.
Matahari mulai hanyut ditelan
cakrawala pada hari itu. Saya sudah bersiap-siap untuk pergi ke Goethe Haus
bersama kakak saya, temannya, dan teman-teman saya juga. Malam itu, saya berencana
untuk menonton film berjudul Kosmonauta yang berasal dari Italia.
Jarak antara Goethe dengan rumah
saya memang tidak sampai 5 kilometer namun saya pergi menggunakan taxi kesana.
Sesampainya di Goethe, saya sangat antusias melihat orang-orang di sekeliling
saya yang hendak menonton film Kosmonauta. Bukan hanya warga negara asing yang
hadir ternyata, namun para penikmat film dari Indonesia juga banyak yang
berdatangan.
Sejak film dimulai hingga
berakhir, saya jadi mulai tertarik dengan film-film Eropa lainnya. Dari
kualitas plot atau alur ceritanya saja bagi saya memiliki makna yang sangat
bagus. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk rajin berpartisipasi menghadiri
acara ini di tahun-tahun selanjutnya.
Salah satu personil The Beatles
yang sangat saya kagumi adalah John Lennon. Ketika mendengar tentang sebuah
film yang menceritakannya akan diputar di opening Europe On Screen di
Epicentrum, saya segera mencari berbagai info dan ternyata teman
kakak saya memberikan tiketnya.
Bukan kali terakhir saya
mengagumi atmosfir di Europe On Screen. Orang-orang disana ramah dan saya
senang dengan sambutan yang disampaikan karena tidak terlalu panjang tapi padat
dan jelas. Nowhere Boy, film yang berkisah tentang perjalanan karier John Lennon muda ini
mulai menaungi pikiran-pikiran saya untuk memiliki sifat tidak mudah putus asa
dan bekerja keras. Dengan soundtracks yang 50's, film ini membawa
saya ke dimensi lain pada saat itu.
Lagi-lagi dan lagi-lagi, saya
menanti dengan sabar tahun berikutnya untuk menyaksikan film-film lain. Pada
kesempatan waktu itu, saya menonton film Rust and Bone yang menjadi opening di
Blitzmegaplex Grand Indonesia.
Film yang berkisah tentang perempuan yang
kakinya harus diamputasi karena kecelakaan di sebuah seaworld ini begitu menyentuh
pada scene-scene terakhirnya ketika teman pria nya mencoba menyelamatkan
anaknya yang tenggelam di dalam kolam es bahkan hingga tangannya
berdarah-darah. Film ini memberikan moral value untuk saya agar jangan pernah
menyerah terhadap hal-hal yang berharga bagi kita. Film yang dibintangi Marion
Cotillard ini sukses membuat saya menangis karena aktingnya.
Di Erasmus Huis, saya menghadiri closing EOS
kali itu dan disajikan beberapa film pendek dari pemenang kompetisi short
movie. Ada yang tentang dua orang berketerbatasan dan tentang maksud sticker yang
ditempel di kaca mikrolet. Sementara itu, sebuah film yang diputarkan pada
closing Europe On Screen pada kali itu mengangkat cerita mengenai sebuah
lukisan legendaries yang direplika. Saya lupa judulnya apa, namun yang jelas,
pemutaran film ini beberapa kali mengundang gelak tawa para penontonnya.
Bagaimana? Sangat tidak sabar untuk menanti Europe On
Screen pada tahun ini, bukan? Begitulah pengalaman saya selama menyaksikan
film-film di festival tersebut. Satu hal yang sangat saya sukai dari festival
ini adalah bagaimana cara EU mengangkat film-film dari negara mereka dengan
mengutamakan kualitas dari alur cerita yang sederhana, terlihat simple, namun
memiliki arti tersendiri yang mendalam bagi para penontonnya.
Bagi para pecinta film, festival ini patut
dihadiri dan anda pasti akan mengapresiasinya. Jadi, jangan lewatkan perhelatan
akbar ini tanggal 2-11 Mei 2014 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya!
For more information, visit: http://www.europeonscreen.org