Langit masih hitam ketika
aku mendengar rintik hujan membasahi tanah dan suasana dingin menyelimuti
tubuhku. Sejenak aku duduk setelah terbangun dari tempat tidur yang beralaskan
kain batik. Ayah dan Ibu sudah sibuk bekerja di dapur sementara adikku masih
terlelap. Aku melihat Ibu sedang menyalakan api di kayu bakar dan kemudian aku
bertanya kepadanya jam berapa sekarang. Dengan nada rendah Ibu menjawab bahwa
sekarang sudah jam 3 pagi. Aku bergegas pergi ke sumur untuk mandi dan bersiap
untuk pergi sekolah. Dalam sekejap aku sudah rapih berpakaian seragam sekolah
dan menggunakan sandal jepit karena aku akan menempuh perjalanan yang jauh. Aku
tidak ingin sepatu kebanggaanku kotor terkena tanah dan lumpur. Iqbal, Tono,
Rara dan Sekar sudah menungguku diluar rumah untuk berangkat bersama.
Aku dan teman-temanku akan menempuh perjalanan 20 KM
untuk bersekolah. Kami tidak melewati jalanan mulus yang beraspal, kami
melewati jalan setapak yang sangat licin yang baru saja dibasahi air hujan dan
mendaki gunung serta bukit-bukit. Ini sudah menjadi keseharian untukku dan itu
biasa.
Sesampainya di sekolah, aku mengganti sandal jepit dengan
sepatu kebanggaanku. Pak Karno membunyikan lonceng dan kelas pun dimulai.
Pelajaran pertama hari itu adalah Bahasa Indonesia. Pak Supri dengan senyumnya
yang ramah masuk ke dalam kelas dan menyapa semua murid. Ketika nama Muhammad
Ibrahim disebut untuk absen, aku mengacungkan jari. Hari itu Pak Supri membawa
koran untuk dijadikan bahan pelajaran. Dia membacakan judul headline koran
dengan penuh bangga. Pak Supri adalah seorang penggila bola terutama timnas
Indonesia. Pak Supri terlihat amat senang karena kemarin malam Indonesia
berhasil melibas Filipina 2-1. Aku sendiri adalah seseorang yang menyukai
sepakbola tapi tidak maniak hingga akhirnya aku bertanya kepada Pak Supri hal
apakah yang membuatnya jatuh cinta terlalu dalam terhadap sepakbola terutama
timnas Indonesia. Dia menjawab, baginya para pemain timnas adalah pahlawan yang
sangat besar jasanya untuk masa kini karena mereka mencoba mengharumkan nama
bangsa. Timnas adalah suatu perwujudan untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya.
Dia menambahkan, mungkin jersey para pemain sering terbalur darah ataupun
keringat, tapi menurutnya jersey tersebut tidak pernah terbalur atas rasa malu.
Lambang garuda yang terdapat di jersey para pemain seakan-akan menambahkan
sebuah kekuatan. Ini adalah kali pertama aku mendengar seseorang berbicara
dengan semangat yang berbeda. Aku benar-benar merasakan suatu rasa nasionalisme
untuk menjadi fanatik terhadap timnas Indonesia.
Disaat perjalanan pulang, aku selalu berfikiran mengenai
kata-kata yang diucapkan Pak Supri. Sebelum tertidur pun aku membayangkan suatu
keramaian stadion, penonton bersorak dan menyanyikan lagu Indonesia Raya
bersama dan semuanya membawaku terlarut dalam tidur.
Ketika
terbangun, pada hari itu juga aku memutuskan untuk menabung. Aku akan meyisihkan
uangku setiap harinya untuk membeli jersey timnas Indonesia. Uang jajanku
memang tak seberapa, namun jika setiap hari aku mengumpulkan uang pasti aku
bisa membelinya. Sejak aku mulai tergila-gila terhadap timnas, aku selalu
bermain bola ketika istirahat dan pulang sekolah, aku bertanya banyak hal
kepada Pak Supri dan membaca koran-koran berbau sepakbola yang dibawanya ke
sekolah.
Hari demi hari berlalu.
Ketika uang yang aku kumpulkan sudah cukup, aku berangkat ke kota pada hari
Minggu dinihari untuk membeli jersey. Ketika sampai, susasana hari itu
sangatlah ramai dan aku sempat kebingungan mencari toko yang menjual jersey
timnas. Malioboro memang selalu ramai, tapi aku tidak pernah melihat sampai
seperti ini. Terakhir kali aku ke Malioboro adalah 1 tahun yang lalu. Aku
bertanya kepada tukang parkir dimana toko yang menjual perlengkapan bola.
Akhirnya aku menemukan sebuah toko di depan Mal Malioboro. Ada banyak sekali
baju timnas yang terpampang dan aku bingung memilih yang mana. Akhirnya aku
menjatuhkan pilihan kepada jersey timnas berwarna merah yang polos. Walaupun
tanpa berlogo Nike, aku tetap bangga terhadap jersey tersebut dan segera
memakainya. Harganya yaitu Rp35.000 dan butuh waktu berhari-hari untuk
membelinya. Ketika matahari mulai semakin terik, aku pun memutuskan untuk makan
di sebuah warung.
Ketika sedang
makan tahu goreng, aku tercengang melihat televisi di pojok atas yang sedang
menayangkan berita mengenai timnas. Wajah-wajah mereka aku kenal mulai dari
Tibo, Okto, Patrick, Ahmad Bustomi, Firman Utina, dan yang paling aku idolai,
Bambang Pamungkas. Mereka sedang diwawancarai mengenai kesiapan timnas yang
akan kembali berlaga sore nanti. Cukup lama aku berada di warung tersebut untuk
melihat persiapan mereka. Ketika keluar dari warung tersebut, aku semakin larut
dalam keramaian pusat kota Jogja menjelang sore hari. Euforia masyarakat
semakin menggila dan aku bingung. Aku tidak pernah menonton pertandingan
sepakbola di televisi sebelumnya, jadinya aku ingin menontonnya. Rumahku
terletak di pedalaman Gunung Kidul dan aku tidak mempunyai televisi. Jangankan
televisi, listrik saja tidak ada.
Ketika aku
berjalan ditengah-tengah kesibukan orang-orang, tiba-tiba aku menabrak seorang
bapak-bapak yang cukup tua dan aku mengenalnya. Beliau adalah Pak Supri, guru
Bahasa Indonesia ku. Dia terkejut melihatku berada di Malioboro pada pukul
setengah 4 sore sendirian. Aku merasa senang bertemu dengannya, setidaknya aku
tidak merasa sendirian. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku ingin sekali
menonton pertandingan timnas Indonesia sore ini, tapi aku bingung nanti
pulangnya bagaimana. Dengan senyum penuh kehangatan seorang ayah, dia pun
mengajakku ke Alun-Alun Kidul. Disana terdapat layar besar dimana orang-orang
akan menggelar nobar atau nonton
bareng. Sebenarnya aku cukup panik memikirkan Ibu dan Ayah yang pastinya sedang
khawatir di rumah tapi tadi Pak Supri sudah bilang nanti beliau akan berbicara
dengan kedua orangtuaku.
Matahari mulai
bersembunyi dan lampu-lampu yang bagaikan bintang di perkotaan mulai menerangi
tempat tersebut. Banyak orang-orang yang datang mengunjungi Alun-Alun Kidul.
Selain untuk menonton bola, ada banyak juga hiburan disana. Pak Supri
menawarkanku sate ayam ketika pertandingan akan dimulai. Aku hanya mengucapkan
terima kasih, menolak dengan bahasa halus. Alangkah udik nya diriku ketika
pertama kali melihat para pemain beraksi di laga yang cukup panas tersebut.
Jujur saja, aku sendiri tidak mengerti kenapa sangat bersemangat. Aku mendengar
lagu-lagu pembangkit semangat para pemain menggema di Stadion Utama Gelora Bung
Karno. Aku mencoba memejamkan mata sejenak untuk merasakan suasana mereka.
Tepuk tangan, terompet, dan teriakan-teriakan membuat bulu kuduk ku merinding.
Aku pun membuka mata lebar-lebar dan mengucapkan niat dalam hati bahwa aku akan
pergi ke Jakarta untuk datang ke Gelora Bung Karno dan menonton pertandingan
timnas Indonesia.
Ketika aku dan
Pak Supri akan pulang, Pak Supri mengajakku untuk ke warung kopi sebentar. Aku
melihat ada beberapa orang yang saling berselisih pendapat mengenai
pertandingan tadi. Aku bukanlah komentator yang baik, namun dengan rasa hormat
dan mencoba untuk sopan, aku pun memberikan pendapat dan melerai mereka. Bagiku
sendiri, komentarku hanyalah komentar biasa dan basic saja untuk remaja kelas 2 SMP, tapi menurut mereka
tanggapanku adalah tanggapan yang sangat bagus. Aku pun hanya tertunduk
tersenyum malu. Kemudian mereka menanyakan namaku. Hari itu sungguh luar biasa
dan aku akhirnya menginap di rumah Pak Supri.
Keesokan harinya
aku kembali bersekolah seperti biasa, meminjam buku dan seragam dari Pak Supri.
Ketika pulang, orangtuaku sangat khawatir dan terharu melihatku balik ke rumah.
Seperti yang sudah aku niatkan sebelumnya, aku pun bekerja keras demi menonton
timnas Indonesia di Jakarta. Setiap pulang sekolah, aku akan datang ke
peternakan milik orangtua temanku untuk membantu-bantu memerah sapi, memberi
makan dan menjual susu. Aku juga membantu-bantu anaknya Pak Karno dalam
menjalankan usaha tekstil nya. Anak Pak Karno berusia 25 tahun namun sudah
membuka usaha tekstil kecil-kecilan. Namanya adalah Adin dan aku memanggilnya
Mas Adin. Dia bertanya kepadaku mengapa aku mau kerja membawa barang-barang
keperluan tekstil, aku pun menjawab dengan singkat, demi timnas Indonesia. Dia
pun mengerti maksudnya. Mas Adin adalah seorang pribadi yang sangat baik dan
dermawan, dia pun memberikan aku uang tambahan dan sambil tersenyum ketika
memberikan uang tersebut ia mengatakan demi timnas Indonesia. Aku tersenyum
dengan bahagia dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Selama di
perjalanan pulang, aku rasa uang yang aku tabung sudah cukup ditambah dengan
uang selama aku membantu-bantu dan yang dari Mas Adin tadi. Sesampainya di
rumah, akhirnya aku mengatakan niat tersebut kepada kedua orangtuaku.
Orangtuaku awalnya ragu namun akhirnya mereka mengizinkanku. Aku akan membeli
tiket lusa, ditemani Pak Supri. Agar lebih mudah, aku berfikir jika besok
uangnya aku titipkan ke Pak Supri pasti akan lebih baik. Ternyata salah.
Pukul 3 pagi aku
bangun dan berangkat ke sekolah bersama teman-teman dengan semangat. Aku sangat
antusias dan berhati-hati juga dalam membawa uang yang jumlahnya cukup banyak
tersebut. Tibalah aku di jembatan tua untuk menyebrangi aliran sungai yang
deras. Jembatan tersebut terbuat dari bambu dan sudah mulai goyah. Aku
melewatinya perlahan-lahan hingga akhirnya ketika mau sampai di seberang, aku
berjalan lebih tenang. Namun sayang, tiba tiba terdengar suara bambu yang patah
dan aku hampir terperosok ke dalam sungai. Tas ku sudah diujung tangan dan
resleting nya perlahan terbuka. Dalam hati aku berteriak demi timnas Indonesia.
Semuanya seolah-olah sirna ketika uang yang ku kumpulkan mulai keluar dari tas
dan jatuh ke dalam sungai. Tenggelam sudah semuanya. Padahal tadi Tono dan
Iqbal sudah berusaha membantu. Aku menangis dalam kesunyian pagi itu.
Ketika sampai di
sekolah, aku menceritakan semuanya kepada Pak Supri. Pak Supri mencoba
menghiburku dan membantuku menghadapi situasi ini. Pak Supri hari ini akan pergi
ke kota lagi untuk menonton bola dan dia mengajakku. Awalnya aku menolak.
Rasanya sudah malas dan benci, tapi beliau kembali membujukku hingga akhirnya
aku mau.
Kali ini Pak
Supri membawaku ke sebuah kafe yang cukup mewah untuk nonton bareng. Aku sangat
terkejut karena sepertinya tidak pantas masuk ke tempat glamor seperti itu. Ketika ada waktu jeda, sang pembawa acara
mengadakan kuis yang berhadiah 2 tiket menonton pertandingan timnas Indonesia
di Jakarta. Saat itu aku mengerti mengapa Pak Supri mengajakku kesana. Ketika
pertanyaan dilontarkan, dengan sigap aku menjawab. Seisi kafe tercengang ketika
anak seumuranku menjawab pertanyaan mengenai sejarah sepakbola timnas. Mereka
pun akhirnya memberikan tepuk tangan yang meriah dan salut kepadaku. Aku hampir
saja menangis haru. Tidak disangka, dari mulut ke mulut orang-orang
membicarakanku.
Hingga akhirnya
hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku dan Pak Supri berangkat ke Jakarta naik
kereta di malam hari dan sampai di Jakarta subuh. Kami menginap di hotel yang
sudah diakomodasikan oleh pihak penyelenggara. Aku senang sekali melihat Monas
dan Patung Selamat Datang di Bundaran HI. Seharian kami hanya menghabiskan
waktu berjalan-jalan saja.
Langit pun mulai
berubah warna menjadi orange. Saya
dan Pak Supri bersiap-siap ke GBK. Selangkah lagi kami akan menonton
pertandingan timnas bersama, namun tiba-tiba tiket milik Pak Supri jatuh ke
kubangan air dan terinjak-injak. Kami pun sangat kaget dan pasrah hingga
akhirnya seseorang berteriak menyebutkan namaku dan orang-orang berkerumun di
seklilingku. Mereka ternyata terkagum dengan apa yang dibicarakan banyak orang
selama ini. Lagi-lagi aku hanya tertunduk tersenyum malu. Mereka bertanya
mengapa aku tidak masuk ke dalam GBK, aku pun menjawab dan mereka memberikanku bantuan.
Mereka masih punya 1 tiket dan diberikan untuk Pak Supri. Kami pun akhirnya
masuk ke dalam GBK dan duduk di kursi kategori 1. Aku kembali memejamkan mata
dan mencoba merasakan atmosfer yang pernah kubayangkan saat duduk di Alun-Alun
Kidul. Para punggawa timnas pun masuk dan kami menyanyikan lagu Indonesia Raya
bersama. Aku tidak peduli jika suaraku habis, yang penting aku mendukung
timnas. Sungguh luar biasa! Malam itu pemain idolaku, Bambang Pamungkas
berhasil menjebol gawang Malaysia dan mengunci kemenangan mutlak dengan skor
3-1 di menit 66.
Aku pun membentangkan
bendera Indonesia sambil meneriakkan Garuda di Dadaku. Malam itu adalah malam
yang sangat berharga. Malam itu adalah malam yang memberikan pelajaran terbesar
sepanjang hidupku. Aku belajar mengenai arti sebuah pengorbanan. Aku memang
bukanlah anak yang cerdas, bukan anak pandai yang tau bagaimana cara
melestarikan seni dari sebuah bangsa, bukan anak dari seorang pejabat yang
memegang gadget setiap harinya, tapi
aku adalah seorang penggila, maniak dan fanatik bola, aku tau para penonton
yang rela berkorban demi keharuman nama bangsa, aku paham sebuah budaya dalam
sepakbola yang unik akan banyak hal dan itu adalah caraku, cara bagaimana
diriku menunjukkan bahwa aku cinta tanah air ini, Indonesia.
Jakarta, 27 Mei 2012
Untuk para nasionalis dan pecinta sepakbola Tanah Air
Amanda Pragita