Senin, 28 Desember 2015
Kamis, 24 Desember 2015
Rabu, 04 November 2015
Titipan dari Hujan
Bulan Desember segera tiba
Akhirnya akan datang juga si hujan
Turun dari gumpalan awan
Setetes dua tetes
Ingin sekali aku menghirup aromanya
Bau air dan tanah yang menari bersama
Bahagia dalam suasana basah
Dan kesejukan
Serta dingin yang mengalir
Sebab kini sudah ribuan tetes yang turun
Menjadi deras
Sejenak di pikiranku terlintas
Di benakku ada payung warna kelabu
Ada kamu
Juga aku
Berjalan
Menimbulkan percikan air
Sambil tertawa riang
Di bawah payung kelabu
Aku (Tidak) Sendirian di Hutan Rimba
Biarkan aku tersesat
Biarlah enggan untuk pergi
Terjebak di antara hiruk pikuk burung
Diselimuti angin dingin
Lalu hadir sang mentari
Berani sekali melewati celah-celah dedaunan
Aku tersenyum padanya
Terimakasih telah menemani di kedinginan
Kemudian aku tinggal di hutan
Biarlah aku tersesat
Karena aku menyadari bahwa aku tak sendiri
Sepenggal Bagian Terburuk
Cinta memiliki bagian terburuk
Ketika kamu jatuh kedalamnya
Namun tidak ada yang menahan
Ketika hatimu rapuh
Namun tidak ada yang menjaganya agar tak hancur
Ketika tanganmu lepas dari tali kesadaran
Dan tak ada seorangpun yang menarikmu ke atas
Sabtu, 31 Oktober 2015
Tunggu di Tugu
Entah siapa yang ditunggu
Aku senang duduk di stasiun itu
Banyak orang berlalu
Memang selalu ramai si Tugu
Dari fajar bangkit Stasiun Tugu sibuk melulu
Orang orang mungkin akan tau
Ada yang sedang menunggu
Datang dan beranjak dari bangku
Itu aku
Terkadang Hanya Ingin Saja
Terkadang aku ingin lari dari kenyataan
Hanya saja tak semudah yang dibayangkan
Terkadang aku ingin merenung seharian
Hanya saja banyak pekerjaan yang harus diselesaikan
Terkadang aku ingin mengingat kenangan
Hanya saja memori tidak berkenan
Terkadang aku ingin
Hanya saja tidak mungkin
Kenyataan yang Singkat
Jika dewa dewi cinta memang baik
Mengapa ia tembakkan anak panah ketika kita jatuh cinta?
Mengapa kita mengenal istilah jatuh pada cinta?
Bukankah berarti cinta itu perih?
Aku rasa itu kebenarannya
Obat dari Ibu
Ibu datang membawa obat
Bagaikan malaikat penyembuh
Nyeri kepala tak kunjung usai
Melihat kertas kertas berserakan
Dulu kertas kertas itu hanya bergambar benda
Lalu bertuliskan angka
Ditambah simbol simbol manusiawi
Dan sekarang bertuliskan huruf
Seluruh abjad muncul
Bahkan ada huruf silang dan tanda silang
Semacam ketidakwajaran
Pahit melalui masa sulit
Menanggung beban yang tidak berwujud
Semoga pahit ini lekas lenyap
Seperti obat pemberian Ibu yang baru ditelan
Jangan Menatap Kemari
Ketika aku memandangmu
Jangan menatap balik ke arahku
Bukan karena aku tidak mau
Tapi sebab aku menjadi malu
Ketika kau tau
Aku baru saja memperhatikanmu
Rabu, 28 Oktober 2015
Hidup Itu
Hidup itu sederhana
Kita tidak dilarang bermimpi
Tapi kita dilarang lupa
Tidak semua mimpi jadi nyata
Hidup adalah perihal lapang dada
Tidak perlu meminta maaf pada diri sendiri
Toh mimpi juga tak berdosa
Dan kenyataan juga tak bersalah
Minggu, 25 Oktober 2015
Peringatan Untukmu, Saudaraku
Bertahun tahun mencari ilmu
Buka tutup lembaran buku
Berharap tak ada waktu
Karena pasti tak akan cukup
Perlahan lahan hati membeku
Berubah menjadi batu
Semalam suntuk mencari tau
Sebuah pintu kalbu sudah tertutup
Sepenggal syair yang kau baca
Hanya ingatan kata kata
Ketika kau hanya mencari dunia
Lalu meninggalkan sajadah dan tiang agama
Buka tutup lembaran buku
Berharap tak ada waktu
Karena pasti tak akan cukup
Perlahan lahan hati membeku
Berubah menjadi batu
Semalam suntuk mencari tau
Sebuah pintu kalbu sudah tertutup
Sepenggal syair yang kau baca
Hanya ingatan kata kata
Ketika kau hanya mencari dunia
Lalu meninggalkan sajadah dan tiang agama
Kepada Bapak Presiden
Kepada Bapak Presiden
Yang terhormat
Ini bukan surat resmi
Ini hanya curahan hati
Izinkan saya sang hamba negeri
Menyampaikan keluhan hati
Tidak bermaksud menyakiti
Semoga bapak memahami
Bapak memiliki dua mata
Sepasang telinga
Sama seperti saudara saudara
Yang berjuang melawan asap hutan
Bapak memiliki keberanian
Bapak adalah seorang kepala
Tapi semoga bapak tidak ketakutan terhadap tikus
Yang berlari dan mencicit sambil membawa uang
Saya maklum jika bapak takut akan si tikus
Aneh bukan
Kini tikus tidak makan keju lagi
Mereka tikus tidak bernurani
Memang hewan tidak punya nurani
Tapi bapak adalah manusia
Manusia punya akal punya pikiran
Jangan sampai keliru itu hewan tikus atau bukan
Yang terhormat
Ini bukan surat resmi
Ini hanya curahan hati
Izinkan saya sang hamba negeri
Menyampaikan keluhan hati
Tidak bermaksud menyakiti
Semoga bapak memahami
Bapak memiliki dua mata
Sepasang telinga
Sama seperti saudara saudara
Yang berjuang melawan asap hutan
Bapak memiliki keberanian
Bapak adalah seorang kepala
Tapi semoga bapak tidak ketakutan terhadap tikus
Yang berlari dan mencicit sambil membawa uang
Saya maklum jika bapak takut akan si tikus
Aneh bukan
Kini tikus tidak makan keju lagi
Mereka tikus tidak bernurani
Memang hewan tidak punya nurani
Tapi bapak adalah manusia
Manusia punya akal punya pikiran
Jangan sampai keliru itu hewan tikus atau bukan
Sabtu, 03 Oktober 2015
Sebuah Istilah yang Tidak Kita Ketahui
Tetes air jatuh
Ia bagaikan hujan
Membasahi apapun yang ia pijak
Lalu meninggalkan bekas
Tetes air kembali jatuh
Ia tak pernah pandang bulu
Sekalipun yang keras ia hantam
Lalu si keras melunak
Tetes air berjatuhan
Ia tidak seiring senyuman
Menguras jiwa
Hingga raga melemah
Tak seorangpun tau apa
Apa nama tetes air yang jatuh
Siapa yang dia terjang
Mengapa ia tega
Hingga ku alami sendiri
Saat aku terbalut luka
Larut dalam lara
Menyisir perih
Sampai kudengar seisi alam
Menyanyi lagu sendu
Untuk diriku
Kemudian aku turut berduka kepada diri sendiri
Dan tetes air kembali berjatuhan
Waktu Kelas Sepuluh
Disaat seperti ini
Rindu kelas sepuluh
Waktu masih lugu
Banyak belum tau
Kini semua terburu buru
Tugas bagai memburu
Ulangan melulu
Waktu cepat berlalu
Semua orang menderu
Ternyata masih ragu
Kebingungan macam apa itu
Tak tau universitas mana yang dituju
Ku rindu masa lalu
Kemarau
Seperti kemarau untuk pohon jati
Kau memaksaku untuk kehilangan segalanya
Meranggaskan daun daun kehidupan
Membuat batang kayu dahaga
Tapi aku tabah untuk suatu masa
Karena Tuhan menyelipkan pesan dibalik waktu kemarau
Lalu aku tumbuh dari sari sari bumi
Tak lagi berdiri di atas duri duri kekeringan
Pergi
Waktu malam sangat gelap
Langit berwarna hitam
Daun daun kehitaman
Bayangan dirimu berlalu lalang
Di kasur aku mendongak
Melihat lampu lampu di jalanan
Dari jendela angin masuk membelai
Mengantar pesan akan kenangan
Waktu malam terang bulan
Aku berjalan berdampingan
Diantara kedai kedai kopi
Ada satu senyumanmu disana
Lalu kedai kedai menutup tirai mereka
Kuharap itu bukan perpisahan
Tapi trotoar menjadi saksi
Kini kau telah pergi
Langganan:
Postingan (Atom)